Pada 20 Februari 2025 lalu, bertempat di Kampus Universitas Nasional Jakarta, Perkumpulan Mandala Katalika, IRI Indonesia, dan Universitas Nasional telah menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) ke-2 tentang Bioekonomi dengan topik Tropical Forest Forever Facility (TFFF). Acara ini dibuka oleh Dr. Fachruddin Mangunjaya selaku Dekan Fakultas Biologi dan Pertanian Universitas Nasional dan menghadirkan pembicara Juan Pablo Osornio, selaku Engagement Director dari Earth Insight. Diskusi juga melibatkan penanggap Timer Manurung, Direktur Auriga Nusantara, Mufti Bahri, Direktur Foresy Watch Indonesia dan Ode Rakhman, Direktur Dana Nusantara, dengan moderator Juliarta Bramansa Ottay, Direktur Perkumpulan Mandala Katalika dan kesimpulan dari Dr. Hayu Prabowo, Fasilitator Nasional IRI Indonesia.
Juan Pablo Osornio menjelaskan bahwa TFFF adalah mekanisme keuangan inovatif yang dirancang untuk memberikan insentif jangka panjang dan skala besar bagi upaya konservasi dan restorasi hutan tropis. Tujuannya adalah menciptakan sistem penghargaan yang andal dan berkelanjutan bagi negara-negara yang berhasil mengurangi deforestasi dan mempertahankan tutupan hutan. TFFF beroperasi melalui mekanisme payment-for-results, di mana negara-negara menerima pembayaran berdasarkan hektar hutan yang dilestarikan atau dipulihkan, dengan potongan untuk deforestasi atau degradasi.
TFFF mengusulkan model keuangan yang melibatkan sponsor dari sovereign wealth funds dan pasar modal, dengan target modal sebesar USD 125 miliar. Dana ini diinvestasikan dalam portofolio terdiversifikasi untuk menghasilkan keuntungan finansial yang digunakan untuk membayar negara-negara hutan hujan. Untuk negara penerima harus memenuhi kriteria seperti tingkat deforestasi di bawah 0,5%, sistem pemantauan hutan yang transparan, dan kebijakan nasional yang mendukung konservasi hutan.
Sebagai gambaran, prinsip dari TFFF adalah kedaulatan dalam pengambilan keputusan: pemerintah bebas menentukan alokasi sumber daya, nilai transparansi informasi program nasional harus disebarluaskan secara public, berbagi pendapatan dengan nilai minimal 20% pendapatan dialokasikan kepada penjaga hutan, selain itu akuntabilitas berupa pembayaran dan data deforestasi harus diungkapkan secara publik.
Timer Manurung menyoroti bahwa Indonesia memiliki tutupan hutan seluas 125 juta hektar, dengan tingkat deforestasi saat ini sekitar 0,28% yang memenuhi kriteria TFFF. Ia menekankan pentingnya mekanisme insentif bagi negara yang menjaga hutan, yang disebutnya sebagai “Malaikat penjaga hutan”. Sementara itu, Mufti Bahri mengingatkan bahwa hutan di Indonesia tersebar di 17.000 pulau, sehingga alokasi sumber daya harus bersifat regional. Beberapa daerah memiliki tingkat deforestasi melebihi 0,5%, sehingga pendekatan regional diperlukan untuk menyesuaikan upaya konservasi dengan kondisi lokal.
Ode Rakhman membahas tantangan dalam alokasi sumber daya untuk Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal (IPs dan LCs). Menurutnya, setidaknya 20% pendapatan harus dialirkan kepada penjaga hutan, namun mekanisme penyaluran dana dari tingkat global ke masyarakat lokal memerlukan sistem yang transparan dan efisien. Dipenghujung diskusi Dr. Hayu Prabowo menutup diskusi dengan menekankan bahwa TFFF merupakan langkah penting dalam mendukung konservasi hutan tropis. Namun, implementasinya memerlukan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat lokal, dan lembaga internasional untuk memastikan bahwa dana dan insentif benar-benar mencapai mereka yang berperan aktif dalam menjaga hutan. Dengan demikian, TFFF diharapkan dapat menjadi solusi finansial yang inovatif untuk mendukung upaya global dalam mitigasi perubahan iklim dan pelestarian hutan tropis.