Lanskap Kampar-Kerumutan yang terletak di Provinsi Riau, merupakan salah satu lanskap lahan gambut terbesar dan paling terancam di Asia Tenggara. Lanskap ini rumah bagi keanekaragaman hayati tinggi dan terancam punah, termasuk harimau sumatera. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, lanskap Semenanjung Kampar-Kerumutan terus mengalami degradasi akibat drainase, konversi hutan menjadi pertanian, dan kebakaran hutan yang melepaskan emisi gas rumah kaca dalam jumlah yang besar. Sebagai lanskap multikelola, Semenanjung Kampar-Kerumutan memiliki berbagai tipe pengelolaan kawasan, diantaranya hutan tanaman industri, konsesi restorasi, kawasan konservasi, perhutanan sosial dan perkebunan kelapa sawit.
Dengan kondisi tersebut, maka penyelamatan dan restorasi lanskap Semenanjung Kampar-Kerumutan krusial dalam agenda mitigasi perubahan iklim dan konservasi biodiversitas di Indonesia. Dalam pencapaian target FOLU Net Sink 2030, Semenanjung Kampar-Kerumutan dapat menjadi model bagaimana dukungan lanskap multikelola saling bersinergi dalam mewujudkan keberlanjutan pengelolaan lanskap. Selain itu, lanskap ini juga memiliki potensi dalam meningkatkan area dengan dampak konservasi di luar kawasan konservasi dalam menjawab tantangan “30 x 30 Convention on Biological Diversity (CBD).”
Atas dasar tersebut, maka kami dari FWI dan Mandala Katalika Indonesia (Manka) melakukan kajian konservasi lanskap yang memiliki tujuan dapat dipetakan untuk mendukung keanekaragaman hayati yang terbit di Journal of Natural Resources and Environmental Management edisi Desember 2023. Studi ini menilai kerentanan konservasi keanekaragaman hayati dengan menilai peluang dan ancaman terhadap lanskap tersebut. Kami menggunakan data spasial carbon stock dalam melakukan penilaian kerentanan dan peluang konservasi tingkat lanskap. Selanjutnya, kami mengeksplorasi konektivitas habitat untuk salah satu spesies karismatik di lanskap Sumatera, karena konektivitas habitat sangat penting untuk agenda konservasi global di masa depan.
Sebagian besar KKL dikategorikan sebagai kawasan restorasi potensial (~53% dari luas lanskap). Hutan tanaman industri memiliki risiko konservasi tertinggi berdasarkan sumber karbon (tingkat emisi karbon: 29,91 Tg CO2eq per tahun). Selain itu, temuan kami menunjukkan bahwa ~28% dan ~27% koridor satwa liar berpotensi dikembangkan di dalam kawasan perkebunan industri dan kawasan lindung. Untuk menghubungkan kawasan yang berpotensi sangat dikonservasi di dalam KKL untuk mobilitas spesies, proyek restorasi (khususnya di IFP, Kawasan Konservasi, dan Kawasan Non-Kelola) harus dilakukan untuk mencapai keseimbangan manusia dan alam di KKL.
Hasil lengkap studi kami dapat dibaca melalui link berikut ini:
https://journal.ipb.ac.id/index.php/jpsl/article/view/46292