Perubahan iklim merupakan ancaman terbesar bagi kelangsungan kehidupan di bumi saat ini. Laporan Sintesis IPCC ke 6 (AR6) yang terbit pada Maret 2023 lalu menyatakan bahwa aktifitas manusia, terutama melalui emisi gas rumah kaca telah menyebabkan pemanasan global, dengan suhu permukaan global mencapai 1,1°C di atas tahun 1850–1900 pada tahun 2011–2020. Pemanasan global ini akan terus terjadi sebagai akibat dari penggunaan energi yang tidak berkelanjutan, perubahan penggunaan lahan, serta akibat dari perubahan pola konsumsi dan produksi.
World Economic Forum pada The Global Risk Report 2019 menyatakan, perubahan iklim menempati posisi paling atas sebagai penyebab musibah global, seperti bencana alam, cuaca ekstrem, krisis pangan dan air bersih, hilangnya keanekaragaman hayati, dan runtuhnya ekosistem. Saat ini diperkirakan 3,3-3,6 miliar populasi manusia berada dalam posisi rentan terdampak berbagai bencana tersebut. Bahkan sekitar setengah dari populasi global saat ini menghadapi kelangkaan air yang parah dan setiap tahun sekitar 20 juta orang terpaksa mengungsi akibat banjir dan badai ekstrem.
Sayangnya topik perubahan iklim ini belum menjadi topik yang diperbincangkan dalam kehidupan kita sehari-hari. Perubahan iklim masih menjadi topik yang eksklusif bagi kalangan tertentu, seperti akademisi, aktifis lingkungan hidup dan pemerintah. Padahal berbagai gejala seperti lingkungan yang semakin panas, musim yang susah diprediksi hingga semakin seringnya bencana banjir telah dirasakan langsung oleh masyarakat.
“Dibutuhkan kolaborasi lebih banyak pihak agar kesadartahuan mengenai isu perubahan iklim semakin meningkat di masyarakat dan agar upaya mitigasi yang selama ini sudah berjalan semakin berdampak,” Juliarta Bramansa Ottay, Ketua Yayasan Borneo Nature Indonesia.
Walaupun perubahan iklim merupakan fenomena global, tetapi dampaknya tidak setara bagi seluruh populasi global. Kelompok masyarakat di negara miskin dan berkembang, seperti negara Afrika dan Kepulauan kecil, menerima dampak yang paling besar. Sehingga di seluruh langkah mitigasi dan adaptasi, proses pengambilan keputusan yang inklusif, transparan, dan partisipatif akan memainkan peran sentral dalam memastikan transisi yang adil.
“Masyarakat adat dan masyarakat lokal sebagai penerima dampak langsung akibat dari pengelolaan sumber daya alam secara exploitasi dan mengakibatkan kerusakan lingkungan serta terjadinya perubahan iklim, harus dipastikan memiliki ruang hidup dan peningkatan kapasitas dalam beradaptasi untuk memiliki penghidupan yang layak” Janes Sinaga, Direktur Elang.
Sebagai bagian dari agenda global, pemerintah Indonesia tidak ketinggalam untuk berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebagaimana kesepakatan dunia yang tertuang di dalam Perjanjian Paris, dan sebagai tindak lanjut. Untuk itu pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement. Dari sektor FOLU (forestry and other land use), Pemerintah telah meluncurkan inisiatif “Indonesia FOLU Net-Sink 2030” sebagai rencana aksi pencapaian penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya. Untuk memperkuat komitmen pelaksanaan Perjanjian Paris, Pemerintah Indonesia mengajukan Nationally Determined Contribution (NDC), FOLU Net sink 2030 menjadi salah satu perangkat kebijakan dimana capaian FOLU tinggi akan mempercepat capaian NDC Indonesia.
Namun, diskursus perubahan iklim seharusnya tidak hanya terbatas pada kebijakan, sains dan teknologi. Tetapi juga menyangkut masalah moral, etis dan spiritual tentang bagaimana kita menjalani kehidupan. Untuk itulah, seruan dari gerakan moral keagamaan dapat berperan startegis untuk menjangkau lebih banyak kalangan. Khususnya di Indonesia dimana agama dan spiritualitas merupakan salah satu pilar sosial terpenting di masyarakat.
“Menghadapi Krisis iklim diperlukan sistem tata kelola lingkungan baru yang melibatkan seluruh spektrum masyarakat dan pendekatan inovatif berdasarkan perubahan perilaku dan etika tata kelola lingkungan. Etika lingkungan baru perlu didasarkan pada nilai-nilai yang dimiliki secara universal dan menempatkan nilai lebih besar pada alam yang berhubungan dengan keyakinan spiritual.” Hayu Prabowo, Ketua LPH & SDA – MUI.
Agama dan spiritualitas dapat membantu menyuarakan dan mendorong adanya pendekatan holisitik dalam aksi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Dengan jangkauan yang sangat luas, diharapkan adanya seruan isu perubahan iklim dari pemuka agama diharapkan akan mengamplifikasi dan menggugah kesadaran dari tingkat masyarakat hingga ke pemangku kebijakan. Seruan moral ini juga diharapkan dapat memberikan panduan bagaimana kita sebagai manusia dapat hidup selaras dengan alam dan meningkatkan kepedulian terhadap sesama manusia.
Kembali ke AR6 IPCCC, laporan AR6 ini juga membawa pesan penting bahwa membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat C masih dimungkinkan. Tetapi, itu hanya bisa terjadi jika kita bertindak segera secara kolektif dan menggunakan pendekatan yang holistik dari keilmuan yang didukung oleh semua stakeholder hingga aspek spiritual.